Surabaya adalah kota yang memiliki banyak cerita dan lebih maju daripada kota-kota lain pada era kolonial. Hal ini karena dinamika yang terjadi di Surabaya sebagai kota pelabuhan, kota dagang, dan kota industri pada abad ke-19 sehingga membuat kota itu begitu maju, bahkan sebelum pemerintah kolonial Belanda datang ke sana.
Dr. Andi Achdian, sejarawan UI yang juga adalah seorang penulis, mengatakan bahwa Surabaya adalah kota industri dan perdagangan terbesar di Hindia Belanda, bahkan lebih besar dari Batavia.
Kemajuan ekonominya menjadi sangat penting. Kosmopolitannya sudah berkembang sebagai kehidupan masyarakat Hindia Belanda saat itu. Tidak seperti di Batavia di mana sebagai pusat pemerintahan yang banyak aturan, kalau Surabaya adalah wilayah bisnis dan industri yang agak berjarak dari kekuasaan, lebih terbuka, tidak kelihatan sopan santun seperti di wilayah-wilayah lain seperti Yogyakarta atau Surakarta yang ada kerajaan.
"Kalau di Surabaya kan tidak ada, sejak awal memang strukturnya sudah bebas. Kalau bisa digarisbawahi, tidak adanya satu struktur kekuasaan yang besar seperti kerajaan membuat masyarakat Surabaya secara sosial ekonomi lebih berkembang," ujar Andi.
"Mereka memang selalu menempatkan diri sebagai suatu wilayah yang merdeka dari kekuasaan pusat. Surabaya bahkan disebut sebagai kota paling Eropa di Hindia Belanda."
Bicara tentang Surabaya, tentu tidak bisa lepas dari Persebaya Surabaya. RN Bayu Aji, Dosen Pendidikan Sejarah Unesa (Universitas Negeri Surabaya) sekaligus pengamat sejarah Persebaya, mengungkapkan bahwa secara historis, Persebaya punya perjalanan panjang dalam perkembangan kota Surabaya.
Apalagi jika merujuk kepada SIVB (Soerabaiasche Indische Veotbal Bond) 1927 sebagai cikal bakal Persebaya, menjadi klub yang didirikan oleh orang-orang bumiputera di Surabaya untuk lebih bisa mengembangkan permainan sepakbola.
Persebaya diakui sebagai dua entitas yang saling berkaitan antara SVB (Soerabaiasche Voetbal Bond) yang didirikan di tahun 1910-an dan SIVB. Maka usia Persebaya sudah lebih dari satu abad.
Dari usia tersebut, tentu saja Persebaya tidak bisa dihilangkan begitu saja di dalam sejarah Surabaya dan di memori serta benak masyarakat. Persebaya bukan hanya warisan kota yang harus dicintai dan dilestarikan, tapi bagian dari sejarah Surabaya itu sendiri.
"Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila masyarakat Surabaya begitu mencintai Persebaya, terlebih lagi bagi suporter Persebaya yaitu Bonek," ujar Bayu.
Istilah 'Tret tet tet' yang Mengakar ke Segalanya
Membicarakan Persebaya, juga berarti tentang masyarakat Surabaya yang tegas dalam bersikap dan tidak ragu melawan kesewenang-wenangan. Sikap itulah yang ditunjukan oleh Bonek dalam beberapa waktu terakhir ini selama melakukan aksi 'Bela Persebaya' akibat pembekuan dari PSSI sejak 2013.
Pembekuan itu dianggap kesewenang-wenangan yang dilakukan PSSI. Pasalanya PSSI yang lebih mengakui status Persebaya ciptaan PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB) daripada PT Persebaya Indonesia (PI). Padahal, Bonek menganggap Persebaya yang asli adalah kesebelasan yang digawangi PT PI dan kini diakuisisi PT Jawa Pos Sportaiment.
Namun, Persebaya yang asli bagi Bonek itu akhirnya dipulihkan kembali statusnya pada Kongres PSSI 8 Januari lalu. Perjuangan Bonek sekitar empat tahun lebih itu pun disambut bahagia dan "Persebaya yang asli" bagi mereka sudah bisa berkompetisi resmi lagi pada tahun ini. Alhasil, Bonek pun menjadi pahlawan sepakbola di masyarakat Surabaya.
Padahal, sekitar 1990-an sampai awal 2000-an, Bonek dianggap sebagai ancaman sekaligus bahan lawakan di mata masyarakat dan kelompok suporter sepakbola lain di Indonesia.
Semua stigma itu berawal dari istilah tret tet tet yang menjadi demam di sepakbola Surabaya pada akhir 1980-an. Istilah tret tet tet lahir ketika Persebaya melaju ke babak enam besar kompetisi Perserikatan 1986/1987, mengambil dari suara terompet yang berbunyi 'tet, tet, tet!' Bunyi itu dijadikan seruan di halaman depan pojok kiri bawa yang menghabiskan dua kolom koran Jawa Pos edisi 4 Maret 1987 itu.
Kemudian "tret tet tet" yang diciptakan Dahlan Iskan yang menjabat Pimpinan Redaksi Jawa Pos pada waktu itu pun menjadi istilah laga tandang tersendiri bagi pendukung Persebaya. Mungkin zaman sekarang "tret tet tet" bagi suporter sepakbola pada umumnya lebih dikenal dengan istilah laga tandang, bertandang atau away days.
Tapi bagi kalangan pendukung Persebaya, istilah ikonik melancong ke kandang lawan adalah tret tet tet. Bahkan sampai sekarang pun beberapa kelompok pendukung Persebaya atau media-media Surabaya masih memakai istilah tret tet tet ketika kesebelasannya bertandang ke kandang lawan.
Dukungan semakin deras ketika Persebaya bangkit pada kompetisi Perserikatan 1986/1987 hingga menjadi juara kedua. Pada laga puncak itulah nama tret tet tet semakin sah menjadi ikon dari pendukung Persebaya yang menyaksikan pertandingan di luar Surabaya.
Apalagi saat partai puncak melawan PSIS Semarang, tentu saja banyak pendukung Persebaya yang ingin menjadi saksi sejarah secara langsung di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Saat itulah Jawa Pos membuka pendaftaran bertema tret tet tet yang menjadi fenomena di kalangan pendukung Persebaya.
Asal Muasal Istilah bonek
Kemudian barulah istilah Bonek muncul di antara bibir ke bibir pada kompetisi perserikatan musim berikutnya. Lagi-lagi istilah dari Persebaya itu muncul karena cerita-cerita laga tandang atau Tret tet tet.
Istilah Bonek muncul dari mulut ke mulut karena para pendukung Persebaya dari masyarakat bawah sering nekat melakukan tret tet tet dengan dana yang sangat minim bahkan untuk membeli tiket transportasi umum pun tidak mampu.
Akan tetapi, kondisi itu tidak dipedulikan masyarakat kalangan bawah yang berpartisipasi dalam Tret tet tet Persebaya. Toh masih ada berbagai macam truk atau mobil bak terbuka yang bisa ditumpangi, bahkan menjadi penumpang gelap di gerbong dapur, gudang, atap kereta pun sanggup dilakoni mereka.
Di sisi lain, tidak semua Bonek tidak memiliki uang untuk membayar alat transportasi. Terkadang mereka ingin merasakan sensasi bagaimana tret tet tet dengan risiko tinggi seperti itu.
"Dulu itu belum ada istilah Bonek, istilah Bonek itu baru muncul pada 1988/1989. Istilah ini pun sebenarnya istilah masyarakat, bukan istilah yang ditelurkan oleh Jawa Pos," jelas Slamet Oerip Prihadi, mantan jurnalis dan redaktur Jawa Pos 1980-an.
"Ini istilah umum, suporter Persebaya kan banyak yang berasal dari kalangan bawah, mereka itu sering nekat, naik truk dengan uang seadanya berangkat ke Senayan, berangkat ke kota lain, itulah awal munculnya istilah Bondho Nekat (modal nekat)."
Sumber : https://sport.detik.com
Wednesday, May 31, 2017
Sejarah Persebaya dan Bonek yang Terukir di Kota Surabaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment